07 June, 2008

BIARKAN KAMI BAHAGIA

Biskal gamasi 105, 9 fm. Makassar, 13 februari 2008 Ada yang bilang apalah arti sebuah nama. Tapi bagiku, nama adalah pembeda antara aku dengan kamu. Antara kita dengan mereka. Bahkan antara yang hak dengan yang bathil. Namaku MISTER ALFA LEO. Sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku ditanah angin mammiri maka PONDOK MALINO JAYA dijalan mamoa 5 lorong 1 nomor 6C menjadi gubuk deritaku. Kuulurkan ucapan assalamu alaikum kepada nama-nama ini. Murni muchtar di UIN, Mucnhiar kimia UNM, Eky inggris UNM, Asmi PGSD Unismuh, Ayu fisika UNM, Mila inggris UIN, Abdullah Stikper gunung sari, Sifa, Muli, Mpubetafirgo, Amirullah perikanan UMI, Matematika UNM, UKM Maphan UNM, hipma Gowa, Smp Arabika, Smu Manipi, ibu pertiwiku desa Balassuka kecamatan Tombolo pao Kabupaten Gowa. Salam pamungkas kukirimkan kepada kru radio Gamasi, kru harian Fajar digraha pena, dan semua pendengar biskal gamasi. Salam kenal dari saya. Kita tercipta karena cinta! Kita terlahir juga karena cinta! Kita hidup juga larena cinta! Bahkan……….. Kita matipun juga karena cinta! Pujangga tak tahu apa itu cinta. Kuharap cinta itu tetap berkilau dihati kita meskipun dalam rupa yang lain. Bahkan benci itu perlu jika karena cinta. BIARKAN KAMI BAHAGIA. Sepertinya baru kemarin kau mencipta luka dihatiku. Luka yang menggores dalam dan mengendap abadi di dalam dada ini. Kekecewaan yang meluka. Keresahan yang gelisah. Duka yang memborok. Hati yang berdarah. Semuanya terungkap mengubah bias menjadi fakta. Sungguh berat. Amatlah berat. Ketika pertama kali kita mesti belajar menyadari! Sungguh berat. Amatlah berat. Ketika untuk pertama kali kita harus mengakui kalau kita……………………………kalah!!!. Dan sempurna sudah semuanya ketika dengan ketegaran yang rapuh, ketegaran yang palsu, ketegaran yang kubuat-buat harus mengaku kalah dari pria banyuwangi itu. Kini, kita berpisah seperti maumu. Seperti keinginanmu. Komitmen yang pernah kita lakoni harus buyar sebelum janur kuning itu jadi penyaksi kita. Dalam perjalanan itu, kita meski berpisah dengan jalur yang berbeda. Ibarat air yang diserap oleh sebatang pohon. Mulanya kita sejalan seiring didalam pembuluh kayu itu. Lalu kita bertemu dengan cabang pertama, kita berpisah. Semakin jauh pada ranting dan dahan akhirnya mencapai daun yang berbeda. Tak mungkin kembali nyatu.. Itu adalah masa lalu. Kau kini tlah bahagia dengannya. Tak sekalipun kau ingin membagi berita bahagia itu kepada diriku. Tak ada sepucuk surat, tak ada email, tak ada sms apalagi telpon darimu. Komunikasi diantara kita benar-benar putus sudah. Yach, talisilaturrahmi itu pupus karena ego yang membelit kita. Kadang, sikap acuh itu kerap muncul dibenakku. Untuk apa pula aku memikirkan dirimu lagi. Kau bukan siapa-siapa bagiku. Kau hanyalah masa laluku. Kau pergi hanya menyisa sakit dihati ini. Semua kenangan manis itu kini tertutup kabut kecewa. Aku ingin melupakanmu. Menghapus jejak-jejakmu dari lembaran hidupku. Dan aku tak ingin sisa-sisa sejarahmu menodai perjalanan kehidupanku lagi. Waktu terus bergulir. Siang dan malam jadi piranti. Tahun berganti, kini kita menjejak ditahun 2008 dibulan valentine. Luka lama itu tlah kuanggap sembuh. Perlahan namun pasti kucoba membuka pintu hati lagi. Yach, aku ingin kembali ke taman bunga dimana seribu kembang kini bermekaran. Disini tak ada musim dingin, tak ada musim panas, terlebih musim gugur. Hanya musim semi yang kuharap abadi seperti es abadi dipuncak jayawijaya papua. Semuanya bersemi melempar jangkar pesona mencoba menarik hati sang kumbang. Termasuk diriku. Kucoba mendekati sekuntum bunga. Warnanya merah. Mahkotanya berseri. Kelopaknya mekar sempurna. Ternyata dia mawar denga duri-durinya. Semerbak wangi sesekali kutangkap terbawa semilir angin. Ingin kupetik dia. Ingin kuraih dia. Aku ingin menikmati pesonanya biar kumbang lain tak datang menggodanya. Namun, disana sekuntum melatipun begitu indah. Aku ingin membuat ronceng dari bunga-bunga putih itu. Dan aku tahu. Wanginya tak kalah dengan mawar merah itu. Begitu pula dengan dahlia. Begitu pula dengan bogenvil, anggrek, bunga tanjung dan banyak bunga-bunga lagi dengan pesona masing-masing. Kini……..aku telah memilih! Dia baik. Dia sederhana. Dia cantik. Dia lembut. Dan pasti dia ikhlas menerima diriku apa adanya. Diapun tahu kelamnya masa laluku. Dia tahu kesedihanku. Dia tahu dendamku. Dia……….dia padu dalam jiwa dan raga. Belakangan baru aku tahu. Ternyata dia sahabatmu. Semuanya aku tak tahu sebelumnya. Namun satu yang pasti aku sangat menyayanginya. Aku mencintainya. Rasa cinta yang kerap kusmebahkan kepada orang yang kusayangi. Kau salah!!!! Kau salah!!! Kau salah!!! Tuduhanmu tidak beralasan. Aku mencintai dia bukan karena pelarian. Bukan sekedar dermaga peristirahatan. Bukan pula sebagai pelampiasan rasa kecewaku kepadamu. Sungguh, tak pernah terbersit dalam benakku menjadikan hubungan kami sebagai ajang balas dendam seperti yang kau tuduhkan. Aku kecewa kepadamu. Aku kecewa pada sikapmu. Setelah dulu kau tinggalkan aku karang dilaut ini dan berlayar dengan pria lain, kau malah datang menyebar fitnah yang kejam. Aku tak pernah merusak kebahagianmu. Aku tak pernah mengganggu kebahagainmu. Mengapa benih pahit ini kau tega tebarkan kepada kami. Restuilah kami berdua. Jangan ganggu kehidupan kami. Cukup sekali cinta banyuwangi-makassar merusak cintaku. Jangan lagi terulang ada cinta Banyuwangi-Makassar merampas cinta Balassuka- Engrekang. Diujung goresan ini, aku ingin berkata. Di atas puncak bulu’lohe akan kutiup sangkakala cintaku. Biarkan angin membawa getar cinta itu sampai di atas puncak latimojong. Akan ku utus burung pengelana mengantarkan untai-untai cintaku kepada belahan jiwaku nun jauh di engrekang sana. Yakinlah. Gelombang cintaku tiada sanggup menghalau ganasnya ombak dilautan hindia. Gelombang cinta itu tak akan mengganggu frekuensi cinta kalian berdua. Biarkan aku bahagian……….bersama sahabatmu!!!! Nb: Kapan nih radio gamasi menfasilitasi kami para biskalter untuk menjalin keakraban bukan hanya diudara.terimakasih

NYANYIAN KEGETIRANKU

Selalu ku ucap selamat pagi buat semuanya. Dengan harapan, semangat dan jiwa kita selalu bersinar seperti hakekat pagi hari. Lama tak bersua, kini kudatang lagi menyapa seluruh pendengar biskal gamasi 105,9 Fm. Semoga kak Tisa Lestari tidak merasa jenuh mendengar bisikku, mendengar celotehku, dan mendengar mimpi-mimpi seorang IRWANJAFAR si insan seribu nama. Pondok Malino Jaya di jalan Mamoa 5 lorong 1 nomor 6C selalu setia menjadi tempatku bernaung dikala hujan dan terik. Kusapa selamat pagi pula ke pada rekan-rekanku di pondok yang sama. Ada murni si pipit pemimpi, mucniar si srikandi belia, eky, asmi, ayu,mila,sifa, asti, mpubetavirgo, matematika unm, ukm maphan unm, amirullah perikanan umi, hipma gowa, smp arabika, smu manipi, ayah bundaku di desa balassuka kecamatan tombolo pao, kota dingin malino, kru radio gamasi, kru harian fajar. Terimakasih tlah memberiku kesempatan menerbitkan tulisan ringanku. Dan semua pendnegar biskal gamasi. Satu mimpiku. Satu harapanku, meski kita tak bersua didarat, keakraban kita diudara membuat kita lebih dekat. Manusia bermimpi adalah hal yang lumrah. Karena harapan dan tujuan meski berpijak dari mimpi yang mendahului. Seperti harapku, yang ingin membawa lentera buat para saudaraku Meski kusadar lentera itu masihlah tertidur. Tebarlah kasih sayang seperti angina yang membelai gunung, lembah, daratan maupun pantai. Semailah kehangatan hati, seperti surya menyinari dunia Tuhanku!!! Doaku adalah harapanku. NYANYIAN KEGETIRANKU Kuucap selamat pagi ini kepada bunga-bunga.kepada kumbang-kumbang dan matahari yang kini kembali terik. Selamat dating wahai bola tembaga, hadirmu kembali membawa sari-sari semangat buat jiwa-jiwa yang semalam lena dalam mimpinya. Yach, seperti sifatmu yang membawa sinar dan hangat bagi alam mayapada ini. Saya irwan jafar insane seribu nama. Juga seperti yang lain. Seperti biasa kuawali aktifitasku menyusuri lorong-lorong kota ini. Banyak kisah disana. Ada sejarah disana. Yang mungkin tercatat dan kumpulan buku yang hilang. Kembali hatiku resah. Kembali jiwaku gelisah. Kembali sukmaku merintih. Kubayangkan masa lampau yang begitu damai, indah dan alami seperti dalam kisah dongeng oleh nenek sebagai dalangnya. Sunguh berbeda dengan kenyataan yang kulihat sekarang ini. Tak ada lagi udara yang segar. Tak ada lagi hijau yang membentang jauh. Tak ada lagi kenyamanan. Yang ada hanya kekumuhan, kegersangan, kemiskinan, dan penderitaan yang tiada berujung. Kadang hati kecilku bertanya. Mengapa orang-orang itu betah saja tinggal ditempat seperti ini. Bau dimana-mana. Sampah dimana-mana. Lalat dan nyamuk yang berterbangan. Tak ada lagi tempat bermain buat anak-naak mereka. Ataukah………mereka hanya terpaksa?! Menerima nasib dan pasrah begitu saja. Sungguh, saya yakin dan percaya. Merekapunmendambakan hidup yang tentram, lapang dan damai. Yach,…..warga-warga itupun punya mimpi. Mimpi yang indah. Yang berharap tak mengendap menjadi kerak belaka. Ah……….sepasang kaki beralas sandal jepitku terus kulangkahkan berharap makin banyak fenomena yang bias aku lihat. Setapak demi setapak terus kususuri. Kujelajahi dan kuulur-ulur lagi. Di lampu merah alaudin- pettarani aku kembali terpana. Pemandangan kontras kembali kulihat. Ada geliat orang kecil, ditengah hiruk pikuk kaum-kaum berada. Ada hitam menjadi penoda bintik-bintik putih. Aku berfikir, bangsaku benar-benar telah terpuruk oleh krisis multidimrnsi. Tapi nyatanya?!!! Tak terhitung banyaknya mobil-mobil mewah bersileweran dijalan itu. Betapa gagah, betapa cantik orang-orang itu dengan style yang up to date. Mereka bergelimang harta. Mereka berfoya-foya dnegan materinya, dan……….kurasakan kesenjangan itu antara si kaya dengan si miskin. Orang bermobil sungguh kontras dengan mereka yang berjalan kaki. Kesenjangan antara atasan dan bawahan. Ada aral yang memisah begitu nyata. Ada pembeda. Ada kesenjangan entah karena apa. Dimana kepedulian itu. Dimana para penguasa yang katanya peduli. Bukankah janji kalian saat pilkada dulu untuk peduli penderitaan kami?!, dimana janji kalian yang akan mengangkat kami dari lubang penderitaan ini?!, mengapa sembako yang dulu kalian berikan kini hilang tak berbekas. Dulu, kalian tanpa segan berbaur bersama kami. Tetapi kini, kalian hanya asyik diatas kursi empuk kalian. Seribu kesibukan menjadi alas an kalian setiap kami menjerit meminta perhatianmu. Keresahan ini kembali mengingatkan aku akan kesaktian pancasila kala di sma dulu. Butir-butirnya sangat kami hafal. Katanya………ketuhanan yang mahaesa!! Katanya………kemanusiaan yang adil dan beradap!! Katanya……persatuan Indonesia!! Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan rakyat, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia!!! Tetapi………. Dimana kepedulian itu!, dimana kasih sayang itu!, dimana pemerataan itu yang katanya telah mendarah daging menjadi budaya orang-orang makassar. Lihatlah!!!! Beberapa bocah-bocah berlari-lari kecil ditengah ramainya lalu lintas. Mereka menjadi loper Koran, menjadi pengemis, mereka hanya bermain yang seharusnya mereka ada dingaku sekolah Lihatlah!!!! Lihatlah orang renta itu. Mereka telah jompo. Orang itu seharian disana, diterik matahari bahkan diguyur hujan nan lebat. Orang itu tak bergeming juga hanya demi sebuah receh dari orang yang peduli. Seharusnya orang itu damai dalam peluk hangat keluarga tercintanya.dan kasih orang-orang disekitarnya. Bukankah……..orangtua dan anak terlantar dipelihara oleh Negara?! Mana buktinya!!! Mana!!!!! Dalam anganku, dirku membayangkan betapa indahnya hidup ini jika kita semua mau menjadi orang yang peduli. Peduli sesame, peduli sekitar tak hanya melulu untuk diri sendiri. Singkirkan aral yang melintang. Hilangkan jurang pemisah, kita berbagi kasih, kita berbagi rezki, kita berbagi antar sesame. Tak ada lagi sikap acuh dari si kaya, tak ada lagi sikap acuh dari penguasa dan juga orang yang bermodal. Bukankah………bukankah semua agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama? Mengajarkan kepedulian? Bukankah hakekat syurga adalah keseimbangan hidup antara jiwa dan raga, antara ego dan super ego, antara pribadi dan social, itulah tahta yang tertinggi. Agh……….aku kembali gundah. Aku malu sendiri. Kutatap sepasang tangan ini. Tangan yang masih kaku. Tangan yang masih tidur, sepasang tangan yang belum bisa berbuat apa-apa. Aku belum bisa mengusap kening bocah-bocah itu. Aku belum bisa memberi receh untuk orangtua itu. Aku belum sanggup mengangkat obor pelita buat penerang mereka, Seribu harap aku urai. Semoga goresan tangan ini tak sekedar melayang bisu di udara. Kujadikan kado terindahku meski sejarah enggan mencatatnya. Kutulis keresahan jiwa ini tiada maksud menggurui. Sungguh, aku tak sesumbar itu. Aku masih tahu diri. Aku masih punya cermin yang tak retak. Aku tahu kapasitasku. Ini hanyalah nasehat untuk seorang irwan jafar.

02 June, 2008

TETES AIR MATA KANTORO TEKO

Dalam naskah "kisah sejumput beras" tlah kuikrarkan sumpah palapa kantoro teko yang tak akan mencicipi asingnya garam samudra, manisnya madu dan gurihnya santan kelapa sebelum kulihat manik mata bunda menjadi tangis haru seorang ibu. Kulengkapi jatuh bangunku, seret langkahku, dan setumpuk kesusahanku dimana celengan ayam betina turut menjadi saksi dan tumbal perjuangan seorang kantoro teko. Semuanya kuabadikan dalam episode "diakhir sejarah sahabatku". Kantoro teko kembali berteriak sengau dalam naskah "sengau dibalik tabir" sebagai espresi kedirianku menjalani liku-liku kehidupan dibelantara kota ini. Akhirnya, izinkan kantoro teko kembali berkisah, kembali berkeluh kesah sebagai penutup sejarah derita yang mungkin yang terakhir kalinya. Coretan ini adalah coretan pamitku semoga kedatanganku, kehadiranku, bukanlah pertanda buruk bagi orang lain. Saya ingin kepergianku, pamitku, disambut dengan iringan doa dan harapan. Inilah parade kisah seorang kantoro teko yang dimulai dari kisah sejumput beras, diakhir sejarah sahabatku, sengau dibalik tabir dan kini kututup dengan "tetes air mata kantoro teko’ Selalu kusapa saudara-saudariku di pondok malino jaya, almamaterku UNM, SMU manipi, SMP Arabika, desa Balassuka, Abdullah di stikper gunung sari, Eri di barombong, Yuli si putri tanete lambere, Ian kapucino, Bagonk si putra malakaji di PGSD unismuh, Ardy di masamba, Rasyid si putra pengelana, Thalib atau akram si putra malino yang kini di Barondasi depan kompleks peternakan maros, Harun di panakkkukang, Angga aspol alauddin, Yayat, sisil di UNIV. 45, Dian di jalan pasar ikan, Kasmi, Eni, Ifan, Titi dimaros, Erna, Fina, Firda, dan Lady di kandea 3. Nama kalian selalu kusemai dalam hatiku. Berikan padaku air mata yang akan terasa sejuk bila kusentuh, bukan air mata yang terasa panas. Karena dengan itu aku bisa membaca hati kalian yang mungkin menipu bila hanya kutanya dari sorot mata itu.
TETES AIR MATA KANTORO TEKO
Minggu 18 mei 2008. Sengaja kumenyendiri berusaha kembali larut dalam sunyiku. Malam itu, diriku hanya ingin bertemankan suara kak Tisa yang mengalun kutilan dari bilik siarnya. Gelombang nada sengau yang pasti terasa resah menggetarkan relung hati kantoro teko. Semuanya kunanti sebagai kado maharaniku. Malam itu…………,malam itu diriku kembali siap merangkai kata-kata usang, ungkapan-ungkapan duka, tangis-tangis kering, bahasa-bahasa kelam sebagai pelengkap rangkai celoteh kantoro teko. Namun, malam itu aku kembali lunglai. Kerapuhan itu tetaplah menemani. Genangan air mata telah membawa semangatku pergi menyisa isak yang tiada putus Dimata sembab kantoro teko. Sungguh tak kusangka. Tak pernah kubayangkan. Cerita pilu yang kugores yang kuharap hanya kubagi pada kesunyian malam ternyata tertangkap oleh orang lain. Tangis yang ingin ku balut, ingin kuhapus semoga kerapuhan itu tak memancing simpati orang, tak memancing perhatian, tak memancing tangis yang sama pada orang lain. Cukup diriku, cukuplah kak Tisa, cukuplah malam yang kian lelap, dan cukuplah kesunyian yang tahu parade kisah ini. Cukup itu. Tak usah orang lain turut mendengarnya. Ah,……… Aku gamang. Aku bingung. Aku tak ubahnya nelayan yang kehilangan arah dan tujuan. Seribu kisah yang lama terangkai kini hilang dan buyar tak tahu harus kumulai dari mana. Aku ragu untuk menuliskan lanjutan kisahku. Kisah yang kuharap menjadi pelengkap kisahku, menjadi nada-nada sumbang simfoni yang hilang, dan menjadi rona yang kini baur tiada satu warna. Aku tak yakin akankah kisah ini tetap utuh dalam alurnya atau hilang entah kemana. Namun, disisi lain dirikupun tak mau kisah ini terpenggal tanpa akhir penutur, aku ingin alur itu tetap ada sama seperti scenario yang telah kujalani, se baku kisah nyataku dimana aku sebagai pelakon utamanya. Oh…….. Bilalah semua kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak kepada orangtuanya adalah dosa, maka dosalah aku. Maka salahlah aku. Pantaslah aku meringkuk dalam jeruji neraka sang Ilahi. Sebagai penebus kesalahan itu. Pantaslah aku disebut sebagai orang pembohong, anak durhaka. Orang tak tahu diri. Kantoro teko sang pembohong!!! Biarlah kupasrah dalam diamku yang sengau kala malampun mencibirku, bulanpun tak sudi purnama bila bersamaku, bintang tak ingin berkedip bila menyaksiku, awan dan kesunyian yang gusar kala bersamaku. Semua jiwa akan berteriak lantang dalam satu lagu yang sama. Kantoro teko pembohong!!! Kantoro teko pembohong!!!! Oh……tuhanku!!! Engkau belum mengajari kantoro teko bagaimana berlaku kala tersesat di dua persimpangan. Meskikah aku maju hanya demi ambisi atau mundur demi sebuah penyelamatan. Aku tahu. Aku sadar. Satu mimpi setiap orang tua adalah bersanding di hari wisuda putra-putrinya. Betapa bangga hati kala melihat toga sang anak. Melihat ijasah sang anak. Sebagai balasan atas tangis dan pengorbanan mereka. Mimpi dan hadiah yang tak bisa diberikan kantoro teko kepada orangtuanya sendiri. Yach , saya tak bisa seperti yang lainnya. Bunda…….abah…… Seingat kantoro teko, hanya secuil kisah yang mampu membuat air mataku basah berderai. Disaat SMP dulu sepasang kucing kesayanganku mati tanpa sebab. Aku menangis. Aku benar-benar menangis kala itu. Kemudian ketika aku sendiri dikesunyian desa bersama kambing-kambingku. Disaat kulihat tatapan ketakutan dari mereka yang kupukuli penuh emosi. Luluh air mataku menyesal kala itu. Dan kini, ketika dengan teramat berat aku meminta uang untuk biaya wisudaku. Sore itu, aku tak tahu harus berbuat apa. Antara meminta atau tidak. Antara berkata atau diam. Aku bimbang. Aku bingung. Aku bagai makan buah simalakama saat itu. Meminta dengan konseksuensi menjadi beban dihati kalian ataukah diam saja yang berarti tak ada wisuda untuk diriku. Lidahku keluh. Bibirku bergetar, seribu ketakutan bermain, semuanya hanya bisa kubahasakan melalui sorot mata yang gagu. Mungkinkah kudapat uang dalam kondisi ekonomi seperti ini. Diluar batas kesadaranku kudobrak ketakutanku, ku gantung rasa tegaku, dan akhirnya senja yang menjelang gelap menjadi saksi bulir-bulir hangat dipipi kantoro teko. Itulah tangis ketigaku yang akan selalu gelap dalam memoriku. Lengkaplah keresahanku, kugapailah puncak ketakutanku ketika tanggal 30 april kian tak berjarak. Semakin dekat. Semakin dekat saja. Segala cara kulakukan agar tanggal keramat itu tak tercium oleh bunda dan abah. Tanggal yang seharusnya aku dengan bangganya mengenakan toga wisudahku. Itulah berita yang pasti membawa gembira bagi kalian namun menyimpan duka yang miris buat diriku Betapa tidak!!!! Dari mana bisa kudapatkan uang sebanyak itu. Sama bundakah? Sama abahkah? Sementara kutahu pensiunan abah hanya habis untuk membayar pinjaman. Tak jarang lidah ini ingin berucap namun kembali tersekat dibatas tenggorokan. Dan sudah kuyakin pasti permintaan itu hanya menambah beban pikiran mereka saja. Tidak!!!tidak!!!! meminta uang wisuda untuk saat ini bukanlah waktu yang tepat Lalu pada siapa? Dimana? Haruskah meminjam pada kenalan? Haruskah menghiba pada saudara diperantauan? Ah, tidak!!!tidak!!!saya paling malu untuk itu Oh,tuhan………….. Aku tak kuasa menatapi kalender dikamarku ini. Bulatan-bulatan merah yang kutandai makin dekat saja. Aku tak tahu harus kembali berbuat apa. Saat itu, kurasakan semua jalanku telah buntu, semuanya telah buyar dimataku. Akupun sudah malu hanya bersimpuh dalam doa kepadaMu. Berdoa hanya dikala terdesak, mendekat kala terpuruk, menghibah kala merana. Aku malu padaMu tuhan. Malu !!!! 23 april 2008. Aku yudisum, Bunda. Hari itu aku sidang skripsi. Itu artinya anakmu ini telah menjadi seorang sarjana. Hari yang biasanya dirayakan dengan pesta, dirayakan dengan syukuran. Seremoni yang tak perlu kantoro teko lakukan. Cukuplah saya yang tahu kalau hari itu akan tercatat abadi dalam sejarah seorang kantoro teko Bunda…… Ridhailah anakmu ini. Semoga jalan yang kutempuh ini tak menyulut murka dihatimu. Luruskan jalanku kalau aku lalai. Tuntun anakmu kalau aku jatuh. Berikan diriku kesempatan memetik bintang yang beribu-ribu di tempayang langit itu. Mungkin satu diantara bintang itu adalah bintang kantoro teko!!!!