29 October, 2008

SETIRE sang DESIRE

Bukan karena lupa diriku tak menyebut nama orang-orang yang mustinya kusapa sebagai pengawal rangkai kataku ini. Namun, mungkin dengan menoreh luka dan tanya bahkan amarah dihati kalian diriku bisa merasa nyaman dalam kesempurnaan deritaku. Jangan tanya…… Jangan cari…… Jangan datang….. Biarkan jiwaku larut dalam suri panjang ini. SETIRE SANG DESIRE Malam ini sengaja jiwaku kulepas bebas berkelana tanpa di kungkung raga yang telah rapuh ini. Ingin kugapai bintang itu mesti tanganku hanyalah……imajiku. Ingin kujejaki tanah, pasir, dan lumpur itu tanpa sepasang kaki ini karena kakiku hanyalah…..hasratku. ingin kupeluk angin, ingin bulan dan matahari. Ingin kudengar nyanyian ombak meski tanpa indraku. Hanyalah….mimpi. Yach…….sekarang aku bermain dialam yang serba tak pasti bagiku. Serba tak mungkin dan semuanya membuatku resah dan larut dalam rona kelam kehidupanku. Semuanya serba mimpi untuk sebuah mukjizat yang pasti tak pernah datang. Kepada kalian, izinkan saya bercengkeramah bersama kesendirianku. Biarkan kunikmati sisa-sisa keramaian yang sebentar lagi berlalu dari kehidupanku yang mungkin akan terasa pahit untuk kukenang. Yach mungkin. Saya tak yakin ingatan itu masih ada pada diriku nanti. Biarkan pula saya tersenyum dalam tangis luka diamku biar kutahu betapa indahnya masa lalu, betapa kurindukan warna-warni pita bianglala yang kini menjadi pita pekat yang menghitam. Ragaku tlah mati. Tubuh ini, tangan ini, kaki ini hanyalah seonggok daging dan tulang yang sudah kehilangan jiwanya. Jiwa!!! Jiwa!! Semua itu hanyalah sebuah penampakan dari kenangan masa laluku. Semuanya kini tlah diambil oleh yang empunya meski semua itu masihlah kubutuhkan. Sangat-sangat kubutuhkan. Kulihat genangan air mata kering dari mata orang yang mencintaku sepenuh hati. Tetes-tetes bening yang bisa kurasakan hangat membelai pori kulit yang sekering doa-doa yang selalu terbaca. Kurasakan galau dihati itu semua meski tak kulihat lagi dengan mata kepala ini, tak kudengar lagi dengan sepasang telinga ini dan tak tersentuh rasa oleh jemariku ini. Hanya khayalan dan imajiku. Hanya sisa-sisa imajiku. Entahlah. Hanya ini yang masih tersisa untuk kunikmati di sisa-sisa hidupku ini. Tuhan……….. Tak bisakah kucicipi lagi indahnya matahariku kala akan tenggelam diufuk barat. Masihlah boleh kurasakan indahnya bermandi cahya purnama dikala malam. Masihkah bisa kudengar bisik ceria sang ombak yang selalu memecah pantaiMu. Tak bisakah???tak bisakah??? Meski hanya sedikit kuteguk arti kesembuhanku.

RENUNGAN SI ENTOL AGAPE

Kulempar senyum lirihku kepada pembawa nama pondok malino, Abdullah di stikper gunung sari dan kepada seluruh pendengar biskal gamasi yang kuharap tak muncul sebagai hakim tanpa jiwa yang akan menvonisku salah. Biarkan dibalik kabut misteri ini kusapa nama-nama kalian. Eri dijalan barombong desa Kanjilo, Yuli si putri Tanete Lambere yang kini di Sungguminasa, Bagonk di UT Malakaji, Akram atau Thalib si putra malino yang kini di Barondasi Maros, Erna di pulau, dan lady di kandea 3. RENUNGAN SI ENTOL AGAPE Sengaja kupilih malam ini untuk kembali bersahabat dengan kesendirian yang kerap menemaniku. Tanpa suara, tanpa keributan kurasakan betapa damainya hidup ini. Disinilah dapat kudengar detup jantungku memompa darah, gerak nadiku seirama dengan nafasku dan bahkan jeritan hatiku yang selama ini kadang diam dalam gagunya. Telah lama hati ini larut dalam pergolakan bathin yang kian berkecamuk. Antara dua rasa itu diriku kembali bimbang. Ada dua warna yang selalu berperang berusaha tampil sebagai pemeran diriku dan merebut predikat sebagai pembawa espresi seorang ENTOL AGAPE. Dua warna yang tak bisa terbaca apakah dia hitam atau putih. Dua rasa yang tak terkecap apakah manis atau pahit. Yach, rangkai aksara tak cukup mampu untuk membahasakannya. Hanya di dadaku semua itu bisa kurasakan. Namun sulit kumengerti sampai saat ini. Kalau kehidupan yang musti dilalui ibarat rell yang membentang, apakah alur yang kujalani ini adalah alur yang salah. Real yang menjauh atau bahkan rel yang patah. Ada awal pastilah ada akhir. Kalau kelahiran kuanggap sebagai awal perjalanan hidup ini maka mautlah sebagai titik nadir dari perjalanan itu. Kata orang bijak, hati itu tak pernah bohong. Hati itu suci. Hati itu terjaga. Dan orang bijak itu pula yang berkata bahwa bisikan kalbu adalah Nur Ilahi yang sengaja dititipkan kepada seorang insan. Disinilah perang bathin itu yang dirasakan oleh sosok seperti si ENTOL AGAPE ini. Bimbang diantara perasaan bersalah dan merasa benar, lelah antara kekuatan dan kerapuhan, dan beranjak dari tawa dan tangis. Bilakah memang jalanku adalah salah. Apakah tersesat adalah takdir yang musti kupetik. Apakah kata hilang akan menjadi takdir yang musti kubawa sampai ajalku tiba nanti. Aku tak tahu. Aku tak tahu Aku percaya rona putih adalah bauran segala warna dengan komposisi yang seimbang. Bukan karena merah semata ataupun warna yang lain.

09 October, 2008

KECUPAN BIDADARI

Diantara 1000 pangeran pasti ada satu yang tetap berhati sahaya. Tak lena dengan predikatnya yang begitu tinggi namun merasa kalau itu semua adalah amanah. Inilah MISTERALFALEO yang ingin bernyanyi meski serak selalu menemani.

KECUPAN BIDADARI

Kubiarkan angin pantai losari membelai wajah ini. Membawa aroma laut, membawa kembali angan-angan yang sekian lama kupendam dalam memoriku. Kembali kurasakan hatiku terasa kosong. Entah karena apa. Kegamangan itu tiba-tiba hadir dalam hidupku. Menemani diriku tak kuasa untuk kuhindari. Rasa gamang yang tak kutahu hadir karena apa dan mengapa. Apakah ada laku perbuatanku yang salah?!, apakah ada sikapku, ucapan-ucapanku yang kulakukan tanpa kusadari hingga rasa gamang inilah yang mesti kurasakan.

Harus jujur kuakui, dalam perjalanan cintaku ini saya bukanlah orang yang sukses. Saya penah jatuh. Saya pernah terpuruk. Saya pernah gagal. Yang semua itu terjadi dengan penyebab yang beraneka ragam. Entah karena kebodohanku sendiri atau sikap egois dari orang lain. Ternyata sakit karena kegagalan itu teramat menohok ulu hati kita. Membeku bagai borok yang sulit untuk sembuh oleh obat manapun juga. Pantaslah bila pujangga cinta berkata andai dia tahu sakitnya terluka karena cinta maka dia tak akan mulai sejak semula.

Apa benar…..kalau semua wanita berfikir kalau laki-laki itu buaya. Laki-laki itu pecundang. Sosok yang tak bisa dipercaya. Kepercayaan itu tak bisa kubantah sendiri. Namun menurutku tak semua laki-laki itu seperti itu. Pikiran buruk yang lama berselaput itulah yang justru membutakan mata kalian untuk melihat secara jeli. MISTERALFALEO memiliki prinsip yang mungkin beda dengan orang lain. Bagiku, sebuah hubungan tak terbatas hanya dengan janji-janji manis, hanya dengan perhatian semu, hanya dengan belai gairah belaka. Cinta adalah tanggung jawab. Cinta adalah pengorbanan. Dan cinta adalah sebuah komitmen.

Saya pernah gagal. Dan saya ingin belajar dari kegagalan itu. Banyak kesalahan yang musti kuperbaiki. Kesalahan terbesarku kala itu adalah perasaan dewasa untuk menjalin kasih ternyata saya masihlah begitu rapuh. Kuanggap umur adalah factor yang utama,kuangggap fisik adalah penentu yang utama, dan kuanggap kontak hati adalah hal yang utama. Namun ternyata saya lupa. Hati, kesiapan, kedewasaan, sikap, dan keyakinan untuk menerima kegagalan tak kumiliki kala itu. Dipandangan mataku jalan yang akan saya lalui terbentang luas tanpa aral yang melintang. Ternyata tantangan, aral, selalu ada menjadi warna pelangi yang gelap.

Kami berpisah. Orang yang kusayang, orang yang kucinta penuh hati, orang yang kuimpikan menjadi pendamping hidupku, lebih memilih bersama orang lain. Aku kalah. Aku gugur. Aku hanyut di arus kecewa ketegaran sebagai seorang laki-laki. Kala itu tak ubahnya diriku adalah ranting patah yang telah gugur. Tak kuasa kuredam gemuruh dadaku. Getar gelombang yang mengalun sengit mengalir dalam nadi darahku. Saya ingin marah!!!, saya ingin berontak!!!, dan rasanya ingin kupenjarakan orang-orang yang telah membuatku marah.

Namun kini aku sadari. Ternyata sayalah yang salah. Saya yang bodoh. Saya yang pongah. Sayalah yang belum siap untuk bersua dengan kegagalan.

Dan ini adalah lembaran kedua. Belajar dari pengalaman pertama alangkah bijaknya kalau kita mencintai tak berlebih. Membenci juga tak berlebih. Saya harus belajar damai dengan kegagalanku, damai dengan ketakutan-ketakutanku dan harus selalu siap untuk kecewa.