03 March, 2009

BERITA DUKA YANG LARA (buat muliati)

kuuntai l kata-kata ini sebagai bentuk doa dari seorang adik untuk dirimu wahai sriknadi kami. selamat jalan. selamat jalan. selamat jalan semoga ilahi rabbi menempatkan dirimu pada tenpat terbaikNya. hanya doa kami bersama lelehan duka air mata ini menjadi bentuk tasbih doa yang ingin kami bingkiskan dikala doa sudah tak berujung. BERITA DUKA YANG LARA tangan ini rasanya tak kuasa untuk menuliskan kata-kata pembuka dalam narasi duka ini. sekuat tenaga aku tahan gemuruh sesak di dada ini..... sekuat tenaga kutahan air mata ini agar tak jatuh lagi menjadi isak yang pilu yang tak beda dari kemarin. pusaran waktu yang terus berputar tlah mengantar jarak diantara kita. rasanya baru kemarin berita duka ini hadir diantara kami yang kini kau tinggal pergi. dan sampai saat ini tak jarang aku masih tak percaya akan kenyataan yang terpaksa kami terima ini. kami masih merasa kalau kamu masihlah hadir dan ada ditengah-tengah kami semua. sore itu............. saya ingin marah kepada angin. kenapa dia masih bertiup.........masih berdesah........ dan dia masih sepoi namun tak membisikkan ditelingahku kalau hari itu kau akan pergi!!!! sore itu.............. matahari sebentar lagi tenggelam tidur dalam pembaringan baratnya. rasanya aku ingin menumpahkan keresahanku kepadanya. kenapa senja yang dilemparkan tak juga membawa warta untuk diriku. kalau hari ini........adalah hari terakhirmu. hari itu............. saya ingin marah kepada hujan. kenapa basah yang dibawahnya sejak kemarinpun tak membawa tanda kepada kami bahwa hari itu adalah hari terakhirmu. mengapa??????/ mengapa............... mengapa mereka semua sibuk dengan alurnya sendiri. angin bertiup seperti biasa saja!!!. marahari beredar seperti biasa saja!!!!. awan......hujan......gemuruh.....dan bumi hanya sibuk dengan zikir-zikirnya sendiri. tak ada satupun yang sejenak menyapaku, memberi tahukanku kalau hari itu sebongkah raga akan meregang nyawa. kalian tega!!!! kalian kejam!!!!! kalian hanya mau peduli dengan pujian ilahi atas kepatuhan kalian saja!!!! *** perlahan namun pasti rasa penyesalan itu kian mendekap bersama hadirnya kenangan-kenangan terakhir yang akan menjadi cerita tiada berkesudahan sebagai pengantar kepergianmu. sungguh...... sungguh........tak pernah kudapatkan firasat akan datangnya hari berkabung ini.betapa tidak. bukankah sore itu kau masih sehat. kau masih bugar. kau masih seperti kemarin-kemarin. meski selama ini kau bergulat sendiri melawan sakit yang tak ingin kau bagi kepada kami. saya masih ingat sekali. bahkan......kau masih sempat mengurusi dirimu sendiri sebelum kita menuju rumah sakit tempat kau akan dirawat nanti. tak pernah kulupakan kala itupun kau masih menyodorkan uang ribuan sebagai ongkos transpor kita nantinya. bukankah semua laku itu membuat kita tak pernah berfikir kalau ternyata maut tlah mengintai dirimu wahai kakakku. sampai detik itu tak ada dipikiran kami kalau hari itu adalah hari terakhir kita. kau dan aku, kau dan ibu, kau dan abah, dan kau dengan semua yang merasa kau tinggalkan kini.dan yang memilukan hati kami adalah karena kau pergi tanpa dampingan ibu dan abah. hanya aku,kula dan daeng jabi yang tak tahu menahu ini. tak begitu banyak orang yang mendampingi detik-detik terakhirmu hingga mungkin kaupun merasa sebagai orang yang terlupa. ah.............. rasanya hati ini benar-benar tersayat-sayat sembilu melihat kau terbaring dengan tatapan kepiluan itu. diatas mobil itulah kau menyimpan sebuah cerita pilu yang tak sanggup kuurai dalam cerita pilu ini wahai kakakku. andai saja...... andai saja dari awal saya tahu bagaimana rupa dan laku seseorang diujung maut, mungkin lakuku tidak sebodoh kala itu. aku hanya bisa mematung menatap dirimu yang lara. aku ingat. kala kupeluk tubuhku yang mendadak dingin. sangat dingin. dan mungkin pertama kalinya kusentuk tubuh sedingin itu. tapi mengapa firasat itu belum juga datang? bahkan sekuat tenaga hatimu berontak kalau maut masihlah lena diatas sana. sungguh, tanganku bergetar pias kala itu. diriku bimbang menyelami ragamu yang kian dingin. seakan bara pembawa kehangatan itu kini kian redup dan bahkan padam dalam dirimu. nun jauh dilubuk hatiku terbersit keyakinan kalau cahaya itu sudah padam kini!!!! ah..........andai saat itu dengan menangis bisa memulihkan keadaanmu maka aku mau menangis saja. disaat terakhir kau hanya menyimpan kisah akan kesan kepada kami. semua itu tak kau ucapkan dengan kata namun bisa kutangkap sempurna maafkan kami kakak..... maafkan kami...... kalau selama ini kau merasa kami tak pedulikan. kami anak tirikan......ataupun acuh dikala sakitmu. kami sadar.....diakhir hidupmupun kau terlunta-lunta laksana orang yang tak punya sanak famili. laksana orang terbuang. disaat-saat kau butuh peluk cium kami kami hanya berlalu dan sibuk dengan diri kami sendiri. masihlah begitu banyak keluh kesah kejujuran yang ingin kuungkap namun gelap sudah menutupi cahaya mata ku ini. saya tak ingin tangis itu tumpah bersama malam yang kian merangkak.

04 February, 2009

RINDUKU DI SECANGKIR BUBUR KACANG IJO

Kata orang jangan melupakan tempat dimana kita berasal agar tak dicap sebagai kacang lupa kulitnya. Tetapi bagiku kenangan kampung halaman adalah detak nadi kehidupanku. Kusapa malam ini berharap getar gelombang radio gamasi bisa mencapai danau Toba nun jauh di pulau Sumatra, mengitari pegunungan Dien di jawa sana, berkelana di pantai Sanur Bali, menyelam di taman Bunaken dan bahkan sampai ditengah belantara negeri Papua. Mungkin saja disanalah kalian wahai sahabatku kini berada. Kuharap tulislah nomor kerinduan ini 085299664969. RINDUKU DI SECANGKIR BUBUR KACANG IJO Beberapa waktu yang lalu, tlah kuungkap secuil kenangan saat kita bersama dulu. Masa-masa SMA yang kata orang adalah masa terindah untuk persahabatan, dan bahkan berkasih sayang. Kenangan terindah itulah yang ingin kembali kuungkap melalui mantra bisikan kalbu malam ini. Dimanakah kini kalian sahabat-sahabatku. Bisakah kalian berikan sedikit waktu kalian untuk kita bersua lagi. Bertemu bertatap mata. Berangkulan penuh persahabatan. Bercerita dari hati kehati. Tak sekedar bercanda dalam mimpi. Seperti yang selalu kulakukan bila rasa rindu itu kembali mendera. Akankah kalian ditanah rantau atau dimana kini berada turut merasakan hal yang sama??? Setiap kali sekawanan camar hitam berlalu selalu kutanya kabar kalian. Adakah ditempat kalian kini menjejakkan kaki masih mengingat aku. Masih mengingat sahabat-sahabat sependeritaan lainnya. Teman-teman sekampung yang selalu bersama-sama mengarungi hutan belantara menuju sekolah tercinta. Masihkah kalian ingat dengan sekolah kita yang sepi di kelilingi sawah yang menghijau. Masih ingatkah kalian dengan jarak yang jauh antara rumah dan sekolah kita. Dan masih ingatkah 1000 kenangan yang tak akan muat untuk ditulis dan dinarasikan oleh kak Tisa Lestari. Katanya, angin sepoi yang kerap menyapaku di pagi hari selalu berkelana di delapan penjuru angin. Kuyakinkan diriku kalau sang bayu yang sama pernah menyapa kalian pula. Pernah bertiup di sela-sela tirai kamar tidur kalian. Dan bahkan pernah murka sebentuk badai kala alam mulai marah. Adakah cerita rindu ini pernah dibisikkan ketelingah kalian??? Pernahkah? Jawablah sobat-sobatku. Atau……bukan angin yang salah dengan badainya. Tetapi kalian yang sengaja menutup telingah tak mau mendengar celoteh lirih ini. Aku tak bisa diam begitu saja wahai sobat-sobatku. Bahkan akupun berkelana bersama megah yang berarak membawa musim. Bersama basah yang jatuh dalam rintik hujan ingin kutumbuhkan semua kenangan itu lagi. Akankah semua itu menggugah hati kalian. Luangkan lah sedikit waktu kalian untuk rasa rindu ini. Sebelum kututup kisah ini, diriku ingin kembali mengingat satu kenangan yang juga tak bisa terhapus dari ingatan ini. Waktu itu 17 agustus hari dimana kita semua terlibat sebagai tim pengibar sang saka merah putih. Hari itu, adalah hari yang bersejarah bukan hanya buat Negara kita tercinta. Tetapi juga menyisa kisah menggelitik bagi kita semua. Latihan rutin yang cukup melelahkan selama sepekan sebelumnya hari itu menjadi buyar. Pasukan pengibar bendera yang kita ikuti menjadi kacau karena kebodohan seorang teman. Kekacauan itu mulai terjadi ketika aba-aba dari komandan pasukan tak bisa kita tangkap secara jelas.kehebohan yang menjadi bahan tertawaan peserta upacara lainnya. Betapa malunya kita saat itu. Insiden itulah yang menjadi perbincangan seru sampai turun makan ditempat yang disiapkan oleh panitia. Bubur kacang ijo. Yach bubur kacang ijo sisa yang tadi kita bawah pulang kerumah. Saat itu, kita kembali singgah di atas puncak bulu’ lohe. Tempat kita melepas lelah untuk menempuh setengah perjalanan lagi. Puncak yang menyimpan kenangan sahabat. Disanalah kita selalu berbagi cerita. Disanalah kita selalu berbagi kisah. Dan bahkan berbagi mimpi. Akankah tahun baru kali ini menjadi tanda yang tepat untuk mengulang semua itu? Aku berharap indahnya danau toba tak menutup keindahan kisah bulu’lohe. Aku berharap indahnya pantai sanur tak menutup kisah bulu’lohe.

19 January, 2009

RATAPAN PILU SANG NIRWANA

Aku tak tahu. Apakah desau angina malam ini masihlah sepoi ataukah topan yang terdengar pias di telingahku. Aku tak tahu gemuruh ombak di samudra masihkah pertanda semilir yang membuai. Ataukah tangis inilah yang akan amenjadi pertanda duka yang abadi. Tak bias kusapa satupun nama dalam jeritku ini. Biarkan titik noda dala warna yang akan bicara rontah pelangi dalam cawang hati ini. Inilah sengau seorang nirwana dalam goresan pilu…… RATAPAN PILU SANG NIRWANA Kuterobos malam beranjak dari tempatku ini. Dorongan hatiku, hasratku, menuntun langkah-langkah kaki ini menuju titik pertemuan. Pertemuan yang mungkin terakhir kalinya buat kita sebelum kau pergi ke tanah Malaysia sana. Keringat membanjir membasahi raga ini. Lelah yang teramat sangat membasuh pias tubuh ini. Derita dalam perjalanan yang musti kutempuh dengan jatuh bangun dalam musafirku tak bisa kubilang mudah. Dataran tinggi Bulu’lohe di Gowa menuju hutan lindung Balang di Sinjai ini di pisah jarak yang membentang jauh. Tetapi semua usahaku itu kini terbayar. Disaat bola tembaga belum mengufuk, di saat embun-embun semalam masihlah basah. Akhirnya ku tiba juga di tempat ini. Tempat yang bagiku menyimpan narasi duka yang mungkin Cuma diriku yang tahu. Di depan mataku kini teronggok batu hitam. Batu nisan Nia!. Bisik hatiku berkata kalau tak lama lagi kaupun akan datang ditempat ini. Kau akan datang mengucap pamit kepada Nia sebelum kau pergi ke tanah rantau. Kau datang untuk Nia, kau pamit pada Nia. Meski orang itu telah damai di bawah sana. Tetapi bagiku bertemu dengan kamu saja telah cukup. Saya sudah senang bisa melihatmu sebelum kau benar-benar pergi jauh. Kau datang. Akhirnya kau datang juga. Kau benar-benar datang ke makam Nia. Kau bersimpuh dan menangis di atas makam itu. Telingahku dengan jelas mendengar ungkapan-ungkapan kesedihanmu, mimpi-mimpi indahmu bersama dia. Yang semua itu semakin menggores perasaanku. Pohon-pohon di hutan ini menjadi saksi arti dan makna lelehan air mata di pipi Nirwana. Kau sedih di tinggal Nia. Aku menangis di tinggal kamu!!! Pagi -pagi sekali kau telah tiba dipusara Nia. Kau bersimpuh di depan pusara perempuan yang amat kau cinta itu. Kau meneteskan air mata. Air mata kerinduan tentunya. Air mata perpisahan. Kau menunduk menangis sambil mengusap batu nisan seolah kau mengusap pipinya. Kau berdoa agar kiranya arwahnya diterima disisinya. Lalu kau kembali mencium batu nisannya dengan linangan air mata. Kesedihan, kerinduan, kekangenan dan kehampaan benar-benar mengharu biru dalam kalbumu. Semua itu membuatku iri pada Nia. Pada daun-daun kamboja yang menangungi nisan Nia. Pada hutan yang diam membisu mendengar jerit hatimu untuk Nia. Aku iri.aku iri.dah hanya lagi-lagi iri. kau terus mengulang mengusap dan mencium batu nisannya serupa kekasih yang akan pergi jauh meninggalkan kekasihnya. Lalu kau mengulang janjimu di depan pusaranya disaksikan kamboja yang baru tumbuh. Embun pagi yang masih membasahi daun kamboja selaksa linangan air mata. Rasanya aku tak kuasa kalau harus kembali ingat masa-masa dulu kita berdua. Masa lalu sebelum sosok Nia hadir diantara kita dan mencuri hatimu dari sisiku. Nia telah membawa awan hitam menutupi cahaya cintaku. Nia telah menodai ayat-ayat cinta yang ingin kulantunkan bersama dirimu. Kini duka itu kembali mengendap di hati ini. Ternyata dari dulu hadirku bagiku tak lebih dari teman biasa saja. Sayanya saja yang terlalu bermimpi. Terlalu tinggi menatap bintang sampai lupa dengan tanah tempatku berpijak. Saya lupa. Saya tak ingat. Kalau kamu masihlah arjuna seperti yang lain. Bukan pangeran yang diutus untuk diriku ini. Pergilah!!! Pergilah menjauh. Bersama hutang lindung Balang kunanti dirimu laksana lestarinya hutang-hutan tempatku bersemedi.