19 January, 2009

RATAPAN PILU SANG NIRWANA

Aku tak tahu. Apakah desau angina malam ini masihlah sepoi ataukah topan yang terdengar pias di telingahku. Aku tak tahu gemuruh ombak di samudra masihkah pertanda semilir yang membuai. Ataukah tangis inilah yang akan amenjadi pertanda duka yang abadi. Tak bias kusapa satupun nama dalam jeritku ini. Biarkan titik noda dala warna yang akan bicara rontah pelangi dalam cawang hati ini. Inilah sengau seorang nirwana dalam goresan pilu…… RATAPAN PILU SANG NIRWANA Kuterobos malam beranjak dari tempatku ini. Dorongan hatiku, hasratku, menuntun langkah-langkah kaki ini menuju titik pertemuan. Pertemuan yang mungkin terakhir kalinya buat kita sebelum kau pergi ke tanah Malaysia sana. Keringat membanjir membasahi raga ini. Lelah yang teramat sangat membasuh pias tubuh ini. Derita dalam perjalanan yang musti kutempuh dengan jatuh bangun dalam musafirku tak bisa kubilang mudah. Dataran tinggi Bulu’lohe di Gowa menuju hutan lindung Balang di Sinjai ini di pisah jarak yang membentang jauh. Tetapi semua usahaku itu kini terbayar. Disaat bola tembaga belum mengufuk, di saat embun-embun semalam masihlah basah. Akhirnya ku tiba juga di tempat ini. Tempat yang bagiku menyimpan narasi duka yang mungkin Cuma diriku yang tahu. Di depan mataku kini teronggok batu hitam. Batu nisan Nia!. Bisik hatiku berkata kalau tak lama lagi kaupun akan datang ditempat ini. Kau akan datang mengucap pamit kepada Nia sebelum kau pergi ke tanah rantau. Kau datang untuk Nia, kau pamit pada Nia. Meski orang itu telah damai di bawah sana. Tetapi bagiku bertemu dengan kamu saja telah cukup. Saya sudah senang bisa melihatmu sebelum kau benar-benar pergi jauh. Kau datang. Akhirnya kau datang juga. Kau benar-benar datang ke makam Nia. Kau bersimpuh dan menangis di atas makam itu. Telingahku dengan jelas mendengar ungkapan-ungkapan kesedihanmu, mimpi-mimpi indahmu bersama dia. Yang semua itu semakin menggores perasaanku. Pohon-pohon di hutan ini menjadi saksi arti dan makna lelehan air mata di pipi Nirwana. Kau sedih di tinggal Nia. Aku menangis di tinggal kamu!!! Pagi -pagi sekali kau telah tiba dipusara Nia. Kau bersimpuh di depan pusara perempuan yang amat kau cinta itu. Kau meneteskan air mata. Air mata kerinduan tentunya. Air mata perpisahan. Kau menunduk menangis sambil mengusap batu nisan seolah kau mengusap pipinya. Kau berdoa agar kiranya arwahnya diterima disisinya. Lalu kau kembali mencium batu nisannya dengan linangan air mata. Kesedihan, kerinduan, kekangenan dan kehampaan benar-benar mengharu biru dalam kalbumu. Semua itu membuatku iri pada Nia. Pada daun-daun kamboja yang menangungi nisan Nia. Pada hutan yang diam membisu mendengar jerit hatimu untuk Nia. Aku iri.aku iri.dah hanya lagi-lagi iri. kau terus mengulang mengusap dan mencium batu nisannya serupa kekasih yang akan pergi jauh meninggalkan kekasihnya. Lalu kau mengulang janjimu di depan pusaranya disaksikan kamboja yang baru tumbuh. Embun pagi yang masih membasahi daun kamboja selaksa linangan air mata. Rasanya aku tak kuasa kalau harus kembali ingat masa-masa dulu kita berdua. Masa lalu sebelum sosok Nia hadir diantara kita dan mencuri hatimu dari sisiku. Nia telah membawa awan hitam menutupi cahaya cintaku. Nia telah menodai ayat-ayat cinta yang ingin kulantunkan bersama dirimu. Kini duka itu kembali mengendap di hati ini. Ternyata dari dulu hadirku bagiku tak lebih dari teman biasa saja. Sayanya saja yang terlalu bermimpi. Terlalu tinggi menatap bintang sampai lupa dengan tanah tempatku berpijak. Saya lupa. Saya tak ingat. Kalau kamu masihlah arjuna seperti yang lain. Bukan pangeran yang diutus untuk diriku ini. Pergilah!!! Pergilah menjauh. Bersama hutang lindung Balang kunanti dirimu laksana lestarinya hutang-hutan tempatku bersemedi.