29 October, 2008

RENUNGAN SI ENTOL AGAPE

Kulempar senyum lirihku kepada pembawa nama pondok malino, Abdullah di stikper gunung sari dan kepada seluruh pendengar biskal gamasi yang kuharap tak muncul sebagai hakim tanpa jiwa yang akan menvonisku salah. Biarkan dibalik kabut misteri ini kusapa nama-nama kalian. Eri dijalan barombong desa Kanjilo, Yuli si putri Tanete Lambere yang kini di Sungguminasa, Bagonk di UT Malakaji, Akram atau Thalib si putra malino yang kini di Barondasi Maros, Erna di pulau, dan lady di kandea 3. RENUNGAN SI ENTOL AGAPE Sengaja kupilih malam ini untuk kembali bersahabat dengan kesendirian yang kerap menemaniku. Tanpa suara, tanpa keributan kurasakan betapa damainya hidup ini. Disinilah dapat kudengar detup jantungku memompa darah, gerak nadiku seirama dengan nafasku dan bahkan jeritan hatiku yang selama ini kadang diam dalam gagunya. Telah lama hati ini larut dalam pergolakan bathin yang kian berkecamuk. Antara dua rasa itu diriku kembali bimbang. Ada dua warna yang selalu berperang berusaha tampil sebagai pemeran diriku dan merebut predikat sebagai pembawa espresi seorang ENTOL AGAPE. Dua warna yang tak bisa terbaca apakah dia hitam atau putih. Dua rasa yang tak terkecap apakah manis atau pahit. Yach, rangkai aksara tak cukup mampu untuk membahasakannya. Hanya di dadaku semua itu bisa kurasakan. Namun sulit kumengerti sampai saat ini. Kalau kehidupan yang musti dilalui ibarat rell yang membentang, apakah alur yang kujalani ini adalah alur yang salah. Real yang menjauh atau bahkan rel yang patah. Ada awal pastilah ada akhir. Kalau kelahiran kuanggap sebagai awal perjalanan hidup ini maka mautlah sebagai titik nadir dari perjalanan itu. Kata orang bijak, hati itu tak pernah bohong. Hati itu suci. Hati itu terjaga. Dan orang bijak itu pula yang berkata bahwa bisikan kalbu adalah Nur Ilahi yang sengaja dititipkan kepada seorang insan. Disinilah perang bathin itu yang dirasakan oleh sosok seperti si ENTOL AGAPE ini. Bimbang diantara perasaan bersalah dan merasa benar, lelah antara kekuatan dan kerapuhan, dan beranjak dari tawa dan tangis. Bilakah memang jalanku adalah salah. Apakah tersesat adalah takdir yang musti kupetik. Apakah kata hilang akan menjadi takdir yang musti kubawa sampai ajalku tiba nanti. Aku tak tahu. Aku tak tahu Aku percaya rona putih adalah bauran segala warna dengan komposisi yang seimbang. Bukan karena merah semata ataupun warna yang lain.

No comments: