26 March, 2008

TERIAKAN SENGAU SANG LUKA

Malam ini, aku tak tahu dan tak mau peduli berapa pasang telingah yang belum mati dalam tidurnya. Mendengar teriakanku, mendengar kepiluanku, dan luka seorang Nirwana Oretcabora Jafar. Luka yang menganga membuatku sengau menyapa nama-nama yang masih lekat dalam benakku. Kusebutlah Murni si pipit pemimpi, Irwan jafar insan seribu nama, Niart, Eky, Asmy, Ayu, Mila Dan Sifa Di Pondok malino jaya. Mpubetavorgo, Imang Saputa, Pungga Sebagus Deltu Dipondok Karche, Abdullah Distikpergunung Sari Makassar, Amir Di Perikanan Umi, Andi Taufik Di Informatika Umi, Matematika Unm, Maphan UNM, SMP Arabika, Smu Manipi, Arango, Desa Balassuka, Herman, Obet, Ramang, Ajinomoto Dan Semua Rekan-Rekan Lamaku Di Sekolah Dulu.

Meski diriku dibenci, meski diriku diingkari tetap kuulur sepasang tangan ini kepada semua pendengar biskal gamasi. Dengarlah lirik sederhana ini. Pahamilah jiwa yang dikabutnya.

Catatan dosa akan segerah tertoreh oleh rakib dan akib, malaikat sang penjaga amal bila dosa yang telah terfirman terlaku oleh sang hamba.

Kuulur Tanya…………………..

apakah teriakan inipun segera tertulis dibuku amalku

sebagai dosa besar seorang hamba.

Kucoba menjawab……….

Kalau hanya tuhanlah yang tahu!!

Rasa dingin dan beku menusuk tulangku tanpa ampun. Menampar kulitku tanpa menyisa hangat alam dibatin ini. Kesunyian kembali menyeruak bersama angin yang terus berhembus diatas puncak Bawakaraeng. Selasih bunyi menyeruak dibalik kibasan jubahku yang terus berkibar dideru angin yang terus berlari. Sang bayu terus berkelana seakan ingin menerbangkan tubuh ini melayang laksana anai-anai yang berterbangan.

Kembali kuedarkan tatap mataku menembus lebatnya daun-daun rimba. Dipohon yang berlumut yang memagar betis setiap jengkal tanah sang leluhur. Kucari bias cahaya yang jatuh menerpa tanah yang terpancar dibalik ufuk yang ambigu. Diatas sana, mega abadi masih terus berkejaran menaungi diriku, menaungi puncak bawakaraeng yang pagi itu tetap sepi dan sunyi.

Entah mengapa debur ombak nun jauh disemanjung Makassar terdengar tangis ditelingahku. Dejavu sang ombak memecah pantai terdengar pilu ditelingah ini. Apakah ini fakta. Apakah ini ilusi. Apakah ini pertanda. Semuanya bias dibalik Tanya yang mengalun. Masihkan camar-camar laut kembali mengatar berita dibalik warta yang terkubur. Terbayanglah busa-busa putih yang mengalir pasrah dititah sang ombak. Buih itu kini menjelma bagai manik-manik hitam yang kembali kelam dimata seorang Nirwana.

Inilah aku yang kini. Inilah sosok sang diri. Inilah berontak seorang nirwana. Inilah sosok sang nirwana. Inilah wujud seorang nirwana yang bermetamorfosis dari kepompong kelemahan, ketakberdayaan, keterpurukan, yang kini lahir menjadi kupu-kupu yang mengepakkan sayap-sayap perubahan. Inilah kekuatan seorang nirwana yang lahir karena takdir namun hidup dengan suratan nasib yang teramat suram. Semua ini karena titah. Semua ini karena wujud. Semua ini karena makna. Inilah titah yang teramat berat dan wajib aku panggul meski hatiku telah menjerit-jerit tiada kuasa.

Untai demi untai doa tak terbatas lagi aku bahasakan. Selalu kuupetikan mengatar cerita-cerita senduku, menemani jeritan-jeritan berharap tuhan segera bergeming. Aku ingin mengadu…………aku ingin berkata……..kalau jiwa dan raga ini tak sanggul lagi menanggung beban. Wahai tuhanku. Aku sendiri ditengah mereka yang bersatu melawanku, bersatu menyingkirkanku, bersatu melemparku kedalam kubangan hitam yang tak pernah aku gali.

Tuhan…….

Tuhan……

Tuhan!!!

Harus kulawan dengan cara apa?!. Dengan fisikkah?!. Fisikku begitu lemah, Tuhan. Mereka semua tahu, apalagi Engkau kalau jiwa hawa yang bersemayam di raga ini membuat fisikku tak sekuat, tak setegar, tak sekokoh sosok-sosok adam yang lainnya.

Tuhan……….

Lalu dengan cara apa lagi aku harus melawan. Hanya dengan doa?!, hanya dengan kepasrahan?!, hanya dengan tangis?!, atau dengan apa. Semua itu tak terhitung lagi menemaniku. Namun semuanya sia-sia. Namun semuanya percuma. Semuanya tinggal kerak didasar wadah yang terlupa. Tak pernah kudapat hasilnya. Hanya tubuh yang lelah ini yang semakin terpuruk, semakin sakit oleh cerca dan hina yang kian bertubi.

Ini tidak adil tuhan!

Ini tidak adil………

Tidak adil!!!!!!!

Engkau tidak adil padaku. Engkau menbedakan hambamu. Engkau………..engkau tahu Tuhan. Mereka menghinaku katanya karena perintahMu. Katanya sosokku adalah karma, adalah noda cahayaMu. Engkau berfirman dalam kitabmu dengan 1000 ancaman untuk orang sepertiku. Mereka akan tampil sebagai pahlawan dihadapanMu kalau mereka memusnahkanku, memutus rantai kehidupanku diatas sejarah mayapadaMU ini. Benarkan itu tuhan?! Aku awam, aku tak tahu, aku tak mampu mencerna seluruh kitab sucimu seperti mereka.

Bicaralah Tuhan!!!

Bicaralah padaku, kepada mereka………………………..

Bicaralah!!!

Katakan padaku, katakan kepada mereka mengapa dulu Engkau berikan titah ini kalau dalam perjalananku Engkau melupakanku. Engkau meninggalkanku. Engkau menelantarkanku, engkau biarkan mereka melukaiku. Dimana kebenaran hakiki itu!!!. Dimana keadilan itu!!!!

Tuhan…………

Aku tahu engkau menyimpan 1000 rahasia. Dibalik arsyMu dimana Engkau bersemayam. Rahasia di atas rahasia yang menyimpan segala makna. Rohku selalu tafakkur berharap menembus batas langitMu sekedar dekat denganMu. Kucari rahasia itu agar mereka semua sadar. Agar mereka paham kalau dirikupun adalah bagian dari kuasaMu. Bukti kebesaranMu. Adaku karena ridhoMu. Lahirkupun karena pengawasanMu.

Tuhan……..

Teriakan ini akan tetap kulantunkan sampai kapanpun jua. Aku tahu. Aku sadar. Aku maksum. Diatas dunia ini teriakan dari kalbu dan ragaku terbatas digaris ajal. Namun, jiwaku adalah jiwa nan abadi yang akan tetap menuntut sampai dipadang ma’syarMu.

Tuhan…………

Meski…….saat itu neraka telah berkobar menanti diriku, dan surgaMu telah menjauh…..tetaplah akan kutanyakan padamu…………………………………

Makna dibalik titah ini!!!!!!

No comments: