02 June, 2008

TETES AIR MATA KANTORO TEKO

Dalam naskah "kisah sejumput beras" tlah kuikrarkan sumpah palapa kantoro teko yang tak akan mencicipi asingnya garam samudra, manisnya madu dan gurihnya santan kelapa sebelum kulihat manik mata bunda menjadi tangis haru seorang ibu. Kulengkapi jatuh bangunku, seret langkahku, dan setumpuk kesusahanku dimana celengan ayam betina turut menjadi saksi dan tumbal perjuangan seorang kantoro teko. Semuanya kuabadikan dalam episode "diakhir sejarah sahabatku". Kantoro teko kembali berteriak sengau dalam naskah "sengau dibalik tabir" sebagai espresi kedirianku menjalani liku-liku kehidupan dibelantara kota ini. Akhirnya, izinkan kantoro teko kembali berkisah, kembali berkeluh kesah sebagai penutup sejarah derita yang mungkin yang terakhir kalinya. Coretan ini adalah coretan pamitku semoga kedatanganku, kehadiranku, bukanlah pertanda buruk bagi orang lain. Saya ingin kepergianku, pamitku, disambut dengan iringan doa dan harapan. Inilah parade kisah seorang kantoro teko yang dimulai dari kisah sejumput beras, diakhir sejarah sahabatku, sengau dibalik tabir dan kini kututup dengan "tetes air mata kantoro teko’ Selalu kusapa saudara-saudariku di pondok malino jaya, almamaterku UNM, SMU manipi, SMP Arabika, desa Balassuka, Abdullah di stikper gunung sari, Eri di barombong, Yuli si putri tanete lambere, Ian kapucino, Bagonk si putra malakaji di PGSD unismuh, Ardy di masamba, Rasyid si putra pengelana, Thalib atau akram si putra malino yang kini di Barondasi depan kompleks peternakan maros, Harun di panakkkukang, Angga aspol alauddin, Yayat, sisil di UNIV. 45, Dian di jalan pasar ikan, Kasmi, Eni, Ifan, Titi dimaros, Erna, Fina, Firda, dan Lady di kandea 3. Nama kalian selalu kusemai dalam hatiku. Berikan padaku air mata yang akan terasa sejuk bila kusentuh, bukan air mata yang terasa panas. Karena dengan itu aku bisa membaca hati kalian yang mungkin menipu bila hanya kutanya dari sorot mata itu.
TETES AIR MATA KANTORO TEKO
Minggu 18 mei 2008. Sengaja kumenyendiri berusaha kembali larut dalam sunyiku. Malam itu, diriku hanya ingin bertemankan suara kak Tisa yang mengalun kutilan dari bilik siarnya. Gelombang nada sengau yang pasti terasa resah menggetarkan relung hati kantoro teko. Semuanya kunanti sebagai kado maharaniku. Malam itu…………,malam itu diriku kembali siap merangkai kata-kata usang, ungkapan-ungkapan duka, tangis-tangis kering, bahasa-bahasa kelam sebagai pelengkap rangkai celoteh kantoro teko. Namun, malam itu aku kembali lunglai. Kerapuhan itu tetaplah menemani. Genangan air mata telah membawa semangatku pergi menyisa isak yang tiada putus Dimata sembab kantoro teko. Sungguh tak kusangka. Tak pernah kubayangkan. Cerita pilu yang kugores yang kuharap hanya kubagi pada kesunyian malam ternyata tertangkap oleh orang lain. Tangis yang ingin ku balut, ingin kuhapus semoga kerapuhan itu tak memancing simpati orang, tak memancing perhatian, tak memancing tangis yang sama pada orang lain. Cukup diriku, cukuplah kak Tisa, cukuplah malam yang kian lelap, dan cukuplah kesunyian yang tahu parade kisah ini. Cukup itu. Tak usah orang lain turut mendengarnya. Ah,……… Aku gamang. Aku bingung. Aku tak ubahnya nelayan yang kehilangan arah dan tujuan. Seribu kisah yang lama terangkai kini hilang dan buyar tak tahu harus kumulai dari mana. Aku ragu untuk menuliskan lanjutan kisahku. Kisah yang kuharap menjadi pelengkap kisahku, menjadi nada-nada sumbang simfoni yang hilang, dan menjadi rona yang kini baur tiada satu warna. Aku tak yakin akankah kisah ini tetap utuh dalam alurnya atau hilang entah kemana. Namun, disisi lain dirikupun tak mau kisah ini terpenggal tanpa akhir penutur, aku ingin alur itu tetap ada sama seperti scenario yang telah kujalani, se baku kisah nyataku dimana aku sebagai pelakon utamanya. Oh…….. Bilalah semua kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak kepada orangtuanya adalah dosa, maka dosalah aku. Maka salahlah aku. Pantaslah aku meringkuk dalam jeruji neraka sang Ilahi. Sebagai penebus kesalahan itu. Pantaslah aku disebut sebagai orang pembohong, anak durhaka. Orang tak tahu diri. Kantoro teko sang pembohong!!! Biarlah kupasrah dalam diamku yang sengau kala malampun mencibirku, bulanpun tak sudi purnama bila bersamaku, bintang tak ingin berkedip bila menyaksiku, awan dan kesunyian yang gusar kala bersamaku. Semua jiwa akan berteriak lantang dalam satu lagu yang sama. Kantoro teko pembohong!!! Kantoro teko pembohong!!!! Oh……tuhanku!!! Engkau belum mengajari kantoro teko bagaimana berlaku kala tersesat di dua persimpangan. Meskikah aku maju hanya demi ambisi atau mundur demi sebuah penyelamatan. Aku tahu. Aku sadar. Satu mimpi setiap orang tua adalah bersanding di hari wisuda putra-putrinya. Betapa bangga hati kala melihat toga sang anak. Melihat ijasah sang anak. Sebagai balasan atas tangis dan pengorbanan mereka. Mimpi dan hadiah yang tak bisa diberikan kantoro teko kepada orangtuanya sendiri. Yach , saya tak bisa seperti yang lainnya. Bunda…….abah…… Seingat kantoro teko, hanya secuil kisah yang mampu membuat air mataku basah berderai. Disaat SMP dulu sepasang kucing kesayanganku mati tanpa sebab. Aku menangis. Aku benar-benar menangis kala itu. Kemudian ketika aku sendiri dikesunyian desa bersama kambing-kambingku. Disaat kulihat tatapan ketakutan dari mereka yang kupukuli penuh emosi. Luluh air mataku menyesal kala itu. Dan kini, ketika dengan teramat berat aku meminta uang untuk biaya wisudaku. Sore itu, aku tak tahu harus berbuat apa. Antara meminta atau tidak. Antara berkata atau diam. Aku bimbang. Aku bingung. Aku bagai makan buah simalakama saat itu. Meminta dengan konseksuensi menjadi beban dihati kalian ataukah diam saja yang berarti tak ada wisuda untuk diriku. Lidahku keluh. Bibirku bergetar, seribu ketakutan bermain, semuanya hanya bisa kubahasakan melalui sorot mata yang gagu. Mungkinkah kudapat uang dalam kondisi ekonomi seperti ini. Diluar batas kesadaranku kudobrak ketakutanku, ku gantung rasa tegaku, dan akhirnya senja yang menjelang gelap menjadi saksi bulir-bulir hangat dipipi kantoro teko. Itulah tangis ketigaku yang akan selalu gelap dalam memoriku. Lengkaplah keresahanku, kugapailah puncak ketakutanku ketika tanggal 30 april kian tak berjarak. Semakin dekat. Semakin dekat saja. Segala cara kulakukan agar tanggal keramat itu tak tercium oleh bunda dan abah. Tanggal yang seharusnya aku dengan bangganya mengenakan toga wisudahku. Itulah berita yang pasti membawa gembira bagi kalian namun menyimpan duka yang miris buat diriku Betapa tidak!!!! Dari mana bisa kudapatkan uang sebanyak itu. Sama bundakah? Sama abahkah? Sementara kutahu pensiunan abah hanya habis untuk membayar pinjaman. Tak jarang lidah ini ingin berucap namun kembali tersekat dibatas tenggorokan. Dan sudah kuyakin pasti permintaan itu hanya menambah beban pikiran mereka saja. Tidak!!!tidak!!!! meminta uang wisuda untuk saat ini bukanlah waktu yang tepat Lalu pada siapa? Dimana? Haruskah meminjam pada kenalan? Haruskah menghiba pada saudara diperantauan? Ah, tidak!!!tidak!!!saya paling malu untuk itu Oh,tuhan………….. Aku tak kuasa menatapi kalender dikamarku ini. Bulatan-bulatan merah yang kutandai makin dekat saja. Aku tak tahu harus kembali berbuat apa. Saat itu, kurasakan semua jalanku telah buntu, semuanya telah buyar dimataku. Akupun sudah malu hanya bersimpuh dalam doa kepadaMu. Berdoa hanya dikala terdesak, mendekat kala terpuruk, menghibah kala merana. Aku malu padaMu tuhan. Malu !!!! 23 april 2008. Aku yudisum, Bunda. Hari itu aku sidang skripsi. Itu artinya anakmu ini telah menjadi seorang sarjana. Hari yang biasanya dirayakan dengan pesta, dirayakan dengan syukuran. Seremoni yang tak perlu kantoro teko lakukan. Cukuplah saya yang tahu kalau hari itu akan tercatat abadi dalam sejarah seorang kantoro teko Bunda…… Ridhailah anakmu ini. Semoga jalan yang kutempuh ini tak menyulut murka dihatimu. Luruskan jalanku kalau aku lalai. Tuntun anakmu kalau aku jatuh. Berikan diriku kesempatan memetik bintang yang beribu-ribu di tempayang langit itu. Mungkin satu diantara bintang itu adalah bintang kantoro teko!!!!

No comments: