28 February, 2008

RONA DIPELUK ALAM

Dimalam nan senyap ini, aku kembali bersua dengan pendnegar biskal gamasi. Ibaduang masih disini. Dipondok malino jaya jalan mamoa 5 lr.1 nomor 6c tak pernah letih merangkai salam buat bunda dan abah tercinta nun jauh dibalasuka sana. Handai taulanku, rekan-rekanku dipondok malino, Abdullah di stikper gunung sari, dan semuanya. Salam persahabatan buat pendengar biskal gamasi dimanapun berada

Kata ikan-ikan betapa indahnya dunia bawah laut.denga hamparan karang didasar samudra yang bersimfoni dengan sejuta warna yang eksotik.

Kata penghuni rimba betapa indahnya lembah.,bukit, gunung dan hutan.

Kata burung pengelana betapa indahnya hamparan mayapada dibawah sana.

Pinguingpun berkata betapa hangatnya selimut salju dikutub selatan itu.

Semuanya indah bila jiwa dan raga kita menyatu disana.

Bukankah emas mahal karena langkahnya, dan permata berharga karena pesonanya.

Begitulah ibangduan yang selalu rindu dengan kampong halamannya.

Bulan februari belum berlalu. Tak sabar lagi kunantikan datangnya bulan maret, bulan april, mei dan bulan-bulan lainnya. Kusambut akan datangnya musim kemarau yang akan mengganti bulan basah ini. Rasanya tak sabar lagi menikmati matahari terbit diatas puncak bulu’lohe. Puncak tertinggi dikampung halamanku, desa balassuka. Aku ingin kembali melihat hamparan putih padang ilalang yang bermandikan kuning sang bola tembaga. Aku ingin melihat hijau-hijau pohon memantulkan eksotiknya lembayung senja. Dikala senja kurindukan kembali berdiri diatas puncak itu.

Diatas ketinggian itu, mataku bebas memandang nun jauh dibawah lembah. Berlatar barisan punggung gunung dari desa sebelah. Disana, hamparan persawahan laksana permadani timur tengah yang begitu indahnya. Disudut sana aliran sungai melikuk putih seakan membelit punggung gunung nan ramping. Lengkap rasanya senja itu kala semilir angina kembali memainkan poni rambut kita. Betapa segarnya aroma bunga gunung, aroma hutan yang basah, kedamaian yang membuatku lena dalam fantasi.

Ah……….indah sekali. Tak perpikir lelah yang akan mendera bila menyusuri setapak demi setapak yang akan mengantar kita keperkampungan. Jalan berliku, berkelok-kelok, naik dan turun lembah semuanya tak terasa. Lihatlah. Dikiri dan kanan setapak yang akan dilalui. Berpagar semak yang rimbun, bunga-bunga liar mekar dengan damainya. Meliuk-luik seirama dengan buaian angina yang sepoi. Sayup-sayup terdengar desah dedaunan, berkicaulah burung punai, burung kutilan, dan burung-burung lainnya semuanya seakan berlomba mengucapkan selamat dating wahai manusia. Seakan berkata “ selamat dating manusia. Inilah rumah kami. Inilah tempat kami. Selamat dating. Nikmatilah alam yang masih perawan ini. Disini tak ada asap. Disini tak ada kebisingan, tak ada deru yang pekak. Disini kesunyian bersimfoni dengan getar dawai alam.indah…indah…….sekali”

Sesekali kubandingkan dengan tempat lain yang pernah kujanbangi atau sekedar kudengar dari cerita orang. Suasana pantai, suasana kota bahkan megahnya gedung-gedung bertingkat. Aku sering kebibir pantai. Mendnegar ombak yang selalu gemuruh. Aroma kerang-kerang laut, perahu-perahu nelayan, dan birunya laut, hamparan pasir putih yang begitu lembut, pekik riang camar-camar kecil. Tapi lembah bulu’lohe jauuuuuuhhhh lebih indah.

Aku pernah dengar kota paris dengan menara eifellnya. Menara symbol cinta ada disana. Gedung -gedung yang megah, kota feisyen, dan banyak lagi tapi lembahku lebih indah.

Aku pernah dengar Italia dengan pizzanya, India dengan taj mahalnya, cina dengan tembok besarnya, jawa dengan borobudurnya, amerika dengan patung libertynya, dan……banyak lagi pesona dunia yang berkata indah untuk dirinya namun lembahku jauh lebih indah

Ah……….aku kembali terkenang dengan suka cinta warga desaku. Keceriaan kala panen tiba. Ditengah sawah seorang IBANGDUANG berjibaku bersama sang bunda, abah dan yang lainnya memotong padi dengan anai-anai ditangan. Canda dan tawa selalu mengalir disana. Sesekali aku tingkahi dengan teriakan yang nyaring mengusir serbuan pipit-pipit sawah yang tak kalah girangnya melihat hamparan padi yang menguning.

Kulihat pula dipetak sawah disebelah utara sawah kami. Sekumpulan orang juga sibuk dengan padinya. Kualihkan pandangku kearah selatan. Disanapun ada kesibukan. Timur dan baratpun begitu. Ternyata persawahan yang biasanya senyap nan sunyi kini ramai dengan dendang sang petani. Sesekali tetangga sawah melintas dipematang sawah kami. Kami saling sapa sesaat. Saling memuji hasil panen dan tentu kembali berbagi kebahagiaan. Sungguh, betapa hangatnya suasana itu.

Dalam keasyikanku kembali bunda memanggil kami semua.

“Abah, ibangduan waktunya shalat. Habis shalat baru kita makan siang”. Benar. Rupanya matahari telah naik sepenggalan. Panas memang dalam terik disinga itu. Tapi semilir angin yang tak pernah bosan bertiup membuat rasa gerah itu tiada terasa. Bergegas kami turun kepelimbahan untuk membersihkan Lumpur yang melekat ditubuh kami.

Didalam dangau yang dibuat ayah kami shalat berjamaah. Betapa khususknya shalat ditengah-tengah alam itu. Rasa penyatuan begitu terasa. Dan yang paling kunati telah tiba. Makan siang ditengah sawah. Bergegas aku membuka bekal yang bundah bawah dari rumah. Dibakul nasi, ada nasi jagung yang masih ngepul, ada sayur bening, ada ikan akering dan yang paling aku suka adalah sambal terasi buatan bunda. Betapa nikmatnya

Semilir angin tak pernah berhenti membelai padi dan orang-orang yang asyik didalamnya. Aroma padi sesekali tercium. Begitu pula aroma bekal dari tetangga sawah. Rupanya ada yang membawa kue.dia bagikan kepada kami. Dan sebagai gantinya kamipun berbagi kopi yang memang sengaja kami bawah cukup banyak.

Sungguh, rasanya ingin selalu kembali kedesa.

No comments: