23 February, 2008

SENGAU DIBALIK TABIR (kantoroteko)

Kantoro teko kembali menyapa nama-nama yang aku cinta. Bunda dan abah di desa Balassuka kab. Gowa. Rekan-rekan dipondok malino jaya. Disana ada Murni M, Niart, Eky, Asmi, Ayu, Sifa dan Asti. Kalian semua adalah air dalam kekeringanku. Mpubetavirgo dipondok kerinduan, Matematika UNM, UKM MAPHAN UNM, perikanan UMI, Hipma gowa racing center. Ditempat inilah kulabuhkan angan-anganku. Selalu kuurai rindu buat almamaterku, SMP sinjai barat, SMU Manipi. Kru Gamasi, kru harian Fajar di graha pena. Spesial buat kak Tisa Lestari yang berulang tahun di tanggal 23 februari 2008. Semoga panjang umur dan tetap setia bersuara di bisikan kalbu gamasi ini.

Satu mimpi yang kini masih berlubuk dihatiku adalah lewat kado biskal gamasi ini aku rindu bertemu dengan semua penulis biskal gamasi dimanapun berada. Juga pendengar biskal gamasi. Jambangi saya di pondok malino jaya dan kunanti deringan persahabatan itu di nomor 085299664969

Seorang insan menatap langit. Mencari arsy, mencari pohon kehidupan.

Namun, biru menjadi pembatas cakrawala.

Seribu tabir mewujud menjadi bianglala sebagai pembatas antara realita dan mimpi.

Seribu bintang berdiam disana.

Tak terbilang galaksi beredar disana.

Namun yang kita lihat hanyalah setitik.

Manusia hanya bias berharap dan bermimpi. Namun Ilahi rabbi yang tahu segalanya.

Hujan kembali basah di tanggal 21 februari 2008. Hujan yang membasah membuatku hanya bisa termenung didalam kamar kostku. Ditemani segelas kopi dan sepiring kue cucur, kiriman bunda tempo hari. Hari ini diriku ada kuliah, Bunda. Sama seperti kemarin, sama seperti minggu kemarin. Sama seperti hari-hari yang telah lalu.

Hujan diluar sana masihlah menangis. Makin deras menggenangi ruas-ruang jalan didepan rumah ini. Tak ada payung, tak ada mantel hujan terlebih motor atau kendaraan yang bisa kupakai kekampusku nanti.

Kadang anganku tergelitik membayangkan diriku seperti yang lainnya. Tak perlu bersusah-susah karena fasilitas orangtua yang melimpah. Tak perlu jatuh bangun dalam merangkai asa dan cita. Tak ada aral yang melintang dipersimpangan jalan yang akan dilalui. Namun diriku sadar kalau aku bukanlah mereka. Ibarat benih, aku terlahir dari sebuah pohon ditengah rimba pekat. Lepas dari pohon induk, lalu menggelinding diatas tanah mencari tempat untuk tumbuh. Yach, aku tumbuh, aku hidup dalam peluk alam rimba. Tak seperti bibit-bibit mahal yang begitu terawat dalam pot-pot bunga. Disiram, dipupuk dan dijaga penuh ketelitian oleh sang pemilik.

Yach,……

Hujan yang kembali deras kembali membawa anganku terbang. Melayang kemasa silam lalu kembali kemasa kini. Kemudian kembali terbang kemasa depan yang saat ini masih berupa mimpi. Kutimbang-timbang ketiga masa itu yang melahirkan kenangan, melahirkan realita dan mewujudkan mimpi yang kuharap menjadi sebuah kenyataan.

Kembali kuraih penaku. Dan kertas putih lusuh yang kuambil dari tempat sampah kampusku, tadi sore. Mulai kugores aksara, mulai kurangkai kata. Dan kujalin menjadi sebuah kalimat. Melalui kalimat-kalimat itulah kubercerita akan jejak scenario seorang aktor kehidupan sang kantero teko.

Seribu untai maaf kembali kusemai. Maafkan saya Bunda. Maafkan saya Abah. Tak ada niatku mencari simpati orang dengan mengumbar derita ini, tak kuharap membagi susah ini dengan menjual luka yang terdengar cengeng, terdengar cemeng, terdengar bodoh, terdengar naïf diuda ra biskal gamasi. Dengan hati tulus seputih salju kuulurkan tanganku kepada kak Tisa Lestari, kepada rekan-rekan dibilik siar gamasi yang harus kembali menjadi saksi, menjadi penyuara derita seorang kantoto teko, menjadi penyuara teriakku yang hilang ditelan sengau. Sungguh tak ada niat untuk itu. Namun, jiwaku yang rapuh merasa bahwa dengan cara ini sesak yang menghimpit itu bisa terasa lapang. Bisa terasa lega, sebagai obat penawar akan lukaku yang tak pernah sembuh ini.

Bunda……………..

Bulan ramadhan tlah lama berlalu. Itu berarti penghasilankupun telah berlalu. Pekerjaan sebagai pelayan rumah makan pun tak kulakoni lagi, Bunda!!. Disana aku hanya sebagai tenaga kontrak selama bulan ramadhan itu. Dan jujur kukatakan bahwa itulah alasan utama mengapa aku tak pulang dan berkumpul bersama di hari kemenangan itu. Aku terpaksa menahan hasratku bersuka cita bersama handai taulan, tak menikmati nikmatnya ayam panggang dan juga ketupat lebaran. Karena aku kerja malam, bunda. Kerja sambilan.

Aku berfikir, waktu selama sebulan itu bisa kugunakan mencari penghasilan tambahan meski malam tak bisa aku nikmati lagi. Lelah tubuh ini, Bunda. Lelah raga ini. Tapi aku tetap menjalaninya meski hasilnya hanya uang receh bagi orang lain.

Maafkan aku, Bunda!!. Anakmu yang durhaka ini telah mengumbar kebohongan kepadamu, memoles diri ini dengan seribu kesibukan semu. Terpaksa aku bilang, kalau aku masih sibuk dengan kuliahku. Padahal saat itu, tak ada kuliah lagi. Semuanya sudah libur. Sudah seharusnya aku pulang kampung seperti perantau yang lainnya. Namun itu tak kulakukan. Aku fikir dengan alasan itu bunda dan abah bisa mengerti mengapa aku tak pulang.

Sungguh bunda!!!

Aku tidaklah seperti yang kalian pikirkan tentang aku. Sekarang kantoro teko telah berubah. Dia ibarat kacang yang lupa kulitnya. Kantoro teko menjadi sombong, kantoro teko telah lupa dengan tanah kelahirannya, kantoro teko bukan yang dulu lagi.

Bundaaaaaaa

Aku tak seperti itu. Hati kecil ini selalu berteriak lantang. Didalam dada ini tetaplah seperti dulu. Dikota ini, polusi dan perubahan tak mampu mengubah hati seorang kantoro teko. Kantoro teko yang selalu rindu, kantoro teko yang lugu dan pemalu, kantoro teko yang selalu bermimpi berbakti kepada orangtua.

Kalaulah orang tahu apa isi hatiku yang sebenarnya. Aku malu, aku segan.aku minder bila harus pulang ditengah-tengah bunda dan abah. Tak ada oleh-oleh hanya kelusuan dan kelelahan jiwa raga yang kubawah. Aku selalu terbayang dengan obsesiku sendiri. Pulang kampung membawa buah tangan buat abah, buah bunda, buat yang lainnya. Aku tahu. Dah lama abah mengimpikan syal tuanya diganti, sudah lama bunda mengimpikan telkun shalat yang baru, sudah lama kemenakan-kemenankanku mau mainan yang lucu. Tapi semua itu belum bisa diwujudkan oleh seorang kantoro teko.

Kembali kugelar sajadah sujudku. Sajadah yang lusuh memang. Lama terlipat dan tersimpan dalam lemari tuaku. Kutunaikan shalat sunat entah apa namanya. Mungkin shalat dhuha karena andai matahari tak berselubung megah, mungkin sudah sepenggalan naik. Kembali kutengadah tanganku kepada sang pemilik waktu. Dalam doaku, aku meminta bahwa setiap masalah pastilah ada jawabnya.

Dan doa itu terkabul juga. Setelah gunung nona, dan jalan veteran tak perlu kususuri lagi, akupun tak perlu berbasah-basah lagi ditempat kerjaku itu. Akupun bisa menikmati lelapnya tidur dimalam hari seperti yang lainnya. Tulisan puisi yang kukirimkan ke redaksi fajar akhirnya muat disana. Sejak itu, puisi-puisi yang lainpun muat. Honornya memang tak seberapa. Tapi dengan itulah aku bisa kembali survival ditengah kota ini bunda.

Bundaaaaaa

Semua itu tak berarti tanpa doamu. Semua itu tiada mengada tanpa ridhamu. Karena ridhamu adalah ridha tuhanku juga. Sampai kapanpun anakmu ini selalu menanti kiriman doa-doamu. Sebagai penyemangat seorang kantoro teko yang juga selalu bermimpi memetik bintang dilangit sana.

No comments: